1.
Kebijaksanaan Fiskal
Kebijaksanaan fiskal adalah kebijaksanaan yang kedua
dibidang pengendalian makro adalah. Kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan
fiskal adalah dua kebijaksanaan yang merupakan alat utama bagi perencana
ekonomi nasional untuk mengendalikan keseimbangan makro perekonomiannya.
Keduanya sangat erat berkaitan satu sama
lain, sehingga dalam praktek yang sering dijumpai adalah kebijaksanaan fiskal
yang juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi moneter atau kebijaksanaan moneter
dengan konsekuensi-konsekuensi fiskal. Kebijaksanaan-kebijaksanaan semacam ini
mungkin lebih cocok disebut ‘kebijaksanaan fiskal-moneter”.
Kebijakan
Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan
dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan
dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain,
kebijakan fiscal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan
atau pengeluaran Negara.
Kebijakan
Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi
perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan
pengeluaran pemerintah.
Pembahasan
ini diawali mengenai hubungan antara
APBN dan kebijaksanaan fiskal. Hal ini sejalan dengan pengertian umum bahwa
kebijaksanaan fiskal adalah kebijaksanaan yang dilaksanakan lewat APBN. Dalam
bagian selanjutnya kita akan meneliti apakah pengaruh dan suatu “kebijaksanaan
fiskal”, yang dicerminkan oleh suatu struktur APBN tertentu, ter hadap
perekonomian. Akhirnya kita akan mengambil sebuah contoh untuk menunjukkan
bagaimana kita bisa memperkirakan pengaruh dan suatu kebijaksanaan fiskal
dengan menggunakan aijabar sederhana.
Dari
semua unsur APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara dan
pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh
kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami
inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara
memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan
lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.
Tujuan
kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini
dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi
pemerintah (G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang
diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y)
dan tingkat kesempatan kerja (N).
APBN DAN
KEBIJAKSANAAN FISKAL
Pengaruh
kebijaksanaan fiskal terhadap perekonomian bisa dianalisa dalam dua tahap yang
berurutan, yaitu:
·
Bagaimana suatu kebijaksanaan uiskal
diterjemahkan men jadi suatu APBN
·
Bagaimana APBN tersebut mempengaruhi
perekonomian.
Dalam
bagian ini kita akan mengaji tahap 1. Khususnya kita akan membahas makna dan
suatu kebijaksanaan fiskal dilihat dari struktur pos-pos APBN.
APBN
mempunyai dua sisi, yaitu sisi yang mencatat pengeluaran dan sisi yang mencatat
penerimaan. Sisi pengeluaran mencatat semua kegiatan pemerintah yang memerlukan
uang untuk pelaknaannya. Dalam praktek macam pos-pos yang tercantum di sisi ini
sangat beraneka ragam dan mencerminkan apa yang ingin dilaknakan pemerintah
dalam programnya. Untuk tujuan pembahasan
Dibagian lain
terdiri dan pos utama, yaitu:
·
Pengeluaran pernerintah untuk pembelian
barang/jasa
·
Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawainya
·
Pengeluaran pemerintah untuk transfer payments
yang ini liputi misalnya, pembayaran subsidi/bantuan Iangsung kepada berbagai
golongan masyarakat, pembayaran pensiun, pembayaran bunga untuk pinjaman
pemerintah kepada masyarakat.
Semua
pos pada sisi pengeluaran tersebut memerlukan dana untuk melaksanakannya. Sisi
penerimaan menunjukkan darimana dana yang diperlukan tersebut diperoleh. Ada
empat sumber utama untuk memperoleh dana tersebut, yaitu:
·
Pajak (berbagai macam)
·
Pinjaman dan bank sentral
·
Pinjaman dan masyarakat dalam negeri
·
Pinjaman dan luar negeri.
Kebijakan
fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi
suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.
Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan
perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar.
Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan
tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi
variabel-variabel berikut:
·
Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
·
Pola persebaran sumber daya
·
Distribusi pendapatan
Kebijakan
ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun
kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja
pemerintah.
Instrumen
kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan
erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku
akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli
masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output.
Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta
menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan
Anggaran / Politik Anggaran :
·
Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan
Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran
lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian.
Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
·
Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan
Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan
pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya.
Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi
yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan
permintaan.
·
Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika
pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik
anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan
disiplin.
2.
Kebijaksanaan Fiskal dan Moneter di
Sektor Luar Negeri
Kebijakan
fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran
negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran
(defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber
penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.
Di
dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan
sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan
sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan
negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari
perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian.
Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak
termasuk dalam penerimaan negara.
Di
lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran
untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara
ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari
perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya
surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan
menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada
besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan
sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).
Dalam
hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar
negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman
dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang
mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan
demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian
dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan
dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan
adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih
dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).
Pada
dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian. Dalam
hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak
menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan
untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar
pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut
dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan
defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan
inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi
negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan
inflasi.
Adapun
pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan
berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah
. Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas
modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat
dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif
menunjukkan adanya cash inflow.
Kebijakan moneter dan pengaruhnya terhadap
perekonomian
Pada
dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian
berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi
perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan
jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui
berbagai instrumen , khususnya open market operations (OMOs).
Dalam
melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi
negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu
ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar
sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain pihak bila bank sentral
ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual
sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu
difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan
pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.
Dalam
kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara
yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan
obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang
bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan
volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini
Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk
melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI
harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat
pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang
memadai untuk dipakai dalam OMOs.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar